The Dark Pictures Anthology: The Devil in Me
Supermassive Games
Bandai Namco
18 November 2022
PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series, PC
Survival Horror
Dewasa
Blu-ray, Digital
41 GB
Rp 490.000
The Dark Pictures Anthology adalah sebuah proyek game horor hasil kolaborasi antara publisher Bandai Namco dan developer Supermassive Games. Proyek yang sudah berjalan sejak tahun 2019 ini, telah menghasilkan tiga game, yaitu Man of Medan, Little Hope dan House of Ashes, yang dirilis secara bertahap setiap tahunnya.
Tahun ini, proyek tersebut telah memasuki judul keempat sekaligus menjadi penutup dari musim pertamanya yang diberi judul The Devil in Me. Apakah game ini dapat menutup musim pertamanya dengan baik?
Simak ulasan lengkapnya berikut ini!
Story
Pada bulan Oktober 2022, terdapat lima orang kru yang tergabung dalam perusahaan film Lonnit Entertainment. Sang tokoh utama adalah Kate Wilder, seorang presenter yang menderita PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Kemudian, ada Mark sang kameramen yang punya sifat kekanakan, lalu ada Jamie si teknisi kelistrikan, Erin si Sound Engineer yang pemalu dan terakhir si produser narsis Charlie. Kelimanya mendapat undangan dari seseorang yang bernama Granthem Du’Met, yang mengaku telah membuat tiruan hotel yang pernah menjadi sarang pembunuh H. H. Holmes.
Para kru film berniat membuat penutup musim pertama dari film “Architects of Murder” dengan harapan dapat menutup musim pertama film seri tersebut dengan megah sehingga mencuri perhatian masyarakat yang akhirnya bisa memberi kesempatan untuk membuat musim kedua. Sayangnya, harapan tersebut sirna karena perjalanan menuju Murder Castle ini malah menjadi mimpi buruk yang membuat para karakter yang terlibat di dalamnya harus bertarung melawan maut.
Apakah kelima kru Lonnit Entertainment dapat keluar hidup-hidup dari hotel tersebut?
Temukan jawabannya dengan memainkan The Dark Pictures Anthology: The Devil in Me!
Gameplay
Seperti tiga game sebelumnya, The Devil in Me juga menyajikan kisah prolog terlebih dahulu sebagai metode tutorial yang bertujuan untuk memperkenalkan mekanisme permainannya. Sesi prolog ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang baru saja menikah dan berniat untuk menghabiskan masa bulan madu mereka di sebuah hotel. Sayangnya, mereka harus menjadi korban pembunuhan oleh sang pemilik hotel, Henry Howard Holmes.
Setelah melewati sesi prolog, seperti biasa Anda akan bertemu dengan sosok The Curator yang masih sama misteriusnya dengan tiga game sebelumnya. Ia menjelaskan perannya sebagai perekam cerita pemain dan sedikit berbicara tentang mekanika dasar gameplay sebelum akhirnya mengucapkan salam perpisahan. Sepanjang permainan nanti, Anda akan beberapa kali berinteraksi dengan The Curator, yang merangkum keputusan yang telah Anda buat dan menawarkan petunjuk.
Masih seperti tiga game sebelumnya, pilihan keputusan Anda akan menentukan nasib karakter, yang bisa membuat mereka bertahan hidup atau justru menuntunnya pada kematian. Akan tetapi, The Devil in Me agak berbeda dengan tiga game sebelumnya yang menawarkan elemen supranatural atau gaib, karena ia menyuguhkan sajian horor slasher ala film Scream atau Halloween. Jadi, sejak awal permainan, Anda sudah tahu bahwa ada pembunuh yang berkeliaran mengincar nyawa para karakter.
Quick Time Event (QTE) yang menjadi ciri khas dari game-game garapan Supermassive, masih ada di sini. Namun, porsinya di sini jauh berkurang karena developer ingin menambahkan variasi pada gameplay-nya. Dengan status Anda yang diburu oleh seorang pembunuh, maka developer bisa mengimplementasikan mekanik baru untuk game ini, salah satunya adalah Stealth.
Interaksi karakter terhadap lingkungan kini kian beragam. Selain bergerak dan berjalan, Anda juga dapat memanjat dan berinteraksi lebih bebas dari game sebelumnya, mirip dengan apa yang mereka terapkan pada game The Quarry. Secara keseluruhan, aksi-aksi yang dilakukan karakter berlangsung lancar. Tidak ada yang tampak kikuk atau glitch, mungkin hanya waktu loading antar adegannya saja yang agak lambat.
Saat Anda terjebak di hotel dengan segala jebakan yang telah disiapkan oleh sang pembunuh, Anda akan berusaha untuk bergerak menemukan solusi. Jadi, Anda tidak hanya menunggu tombol apa yang muncul di layar. Hal inilah yang membuat The Devil in Me terasa lebih revolusioner dibanding tiga pendahulunya.
Anda bisa memilih tempat yang untuk bersembunyi sekaligus menentukan berapa lama Anda ingin bersembunyi. Jadi, Anda tidak hanya menekan serangkaian tombol saja, melainkan lebih aktif beraksi. Selain itu, ada pula teka-teki yang harus Anda pecahkan untuk menentukan nasih karakter ke depannya.
Tidak hanya itu saja, Anda juga dapat memanfaatkan objek atau barang yang dimiliki para karakter untuk bisa bermanfaat dalam upaya bertahan hidup. Sebagai contoh, Erin si Sound Engineer punya mikrofon, yang bisa ditempelkan ke arah dinding untuk mendengar suara yang datang kepadanya.
Salah satu kekurangan yang masih dibawakan oleh The Devil in Me adalah absennya fitur Skip untuk adegan yang telah Anda lewati sebelumnya. Meskipun ada opsi Scene Selection setelah menamatkan game, namun Anda harus menonton dan mengulangi aksi-aksi yang sudah Anda lewati sebelum akhirnya menentukan keputusan berbeda yang mengubah cerita. Seharusnya, fitur Skip ini bisa diterapkan guna mempersingkat permainan sehingga tidak banyak waktu yang terbuang.
Selain itu, game ini juga tidak menyertakan fitur Death Rewind seperti The Quarry, yang berguna untuk mencegah kematian karakter yang tidak diinginkan sehingga jika ada karakter yang mati karena salah mengambil keputusan, maka mereka akan mati secara permanen.
Presentation
Visual
Presentasi The Devil in Me masih serupa dengan game-game Supermassive sebelumnya. Menggunakan aktor sungguhan sebagai rupa virtual para karakternya, seharusnya ia menjadi nilai plus dari sisi visual. Sayangnya, ekspresi wajah karakter kadang terasa aneh dan tidak sesuai dengan adegan yang sedang berlangsung. Hal ini mungkin bisa diperbaiki lewat patch, namun sayangnya kemungkinan besar banyak pemain yang sudah menamatkannya sebelum patch tersebut tiba sehingga jadi terasa sia-sia. Padahal, secara latar dan suasana, game ini berhasil menangkap atmosfer horor yang sangat mencekam dan menegangkan.
Audio
Dari semua game The Dark Pictures Anthology, sejujurnya saya benar-benar paling menikmati akting suara dari game ini. Setiap anggota Lonnit Entertainment menampilkan dinamika “keluarga” yang dapat dipercaya dan relasi yang terbangun dengan baik. Pilihan dialognya bagus dan terkadang juga lucu. Tidak ada dialog-dialog yang canggung seperti game-game sebelumnya.
Namun, bagian teknis paling keren menurut kami terletak pada desain audionya yang akan membuat Anda merinding sepanjang waktu. Apalagi item milik Erin yang berbentuk seperti mikrofon dan headphone, yang bisa membuat Anda mendengar melalui dinding hotel. Hal ini membuat Anda bisa mendeteksi seberapa jauh suara yang datang menghampiri Anda. Efek-efek suara akan teredam saat berada di kejauhan, namun akan menjadi terdengar jelas ketika mendekat ke arah dinding. Memainkannya menggunakan headphone, jelas akan meningkatkan pengalaman horor darinya.
Value
Game ini punya sistem Auto-save yang cukup ketat untuk mencegah pemain mengulangi permainan ke titik sebelumnya dengan tujuan mengubah keputusan. Oleh karena itu, untuk melihat semua konten yang ada, Anda harus mengulangi permainan dengan jalur berbeda sehingga durasi permainan game ini jauh lebih panjang dari tiga game sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman kami mengikuti serial The Dark Pictures Anthology, The Devil in Me adalah judul yang paling punya banyak improvisasi dari seri sebelumnya, terutama dari sisi gameplay dan cerita. Dinamika antar karakternya terasa menarik, latar tempatnya berhasil membangun suasana horor dan akhirnya game ini tidak menampilkan elemen supranatural seperti game-game sebelumnya.
Conclusions
The Devil in Me menutup musim pertama The Dark Pictures Anthology dengan baik. Ia berhasil menjadi game horor yang menegangkan sekaligus menakutkan tanpa melibatkan elemen supranatural. Dari empat game yang telah disajikan, terasa ada kemajuan yang jelas sejak Man of Medan. Game ini juga memberikan kami gambaran tentang arah gameplay musim keduanya yang sudah diumumkan berjudul Directive 8020.
+ Cerita yang enak diikuti
+ Dinamika antar karakter terasa nyata
+ Mekanik gameplay baru
+ Latar tempat yang mencekam
+ Tema pembunuhan terasa menegangkan
+ Teknik pencahayaan sangat keren
+ Desain suara yang mendukung suasana
+ Tanpa elemen supranatural
- Masih tanpa fitur Skip untuk adegan yang sudah dilewati
- Tidak ada fitur Death Rewind
- Ekspresi wajah kadang tidak sesuai