tri-Ace
Square Enix
27 Oktober 2022
PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series, PC
RPG
Remaja
Blu-ray, Digital
64 GB
Rp 749.000 (Standard)
Rp 972.000 (Deluxe)
Bagi para gamer yang tumbuh di era 90-an hingga 2000-an, nama Star Ocean mungkin tidak asing di telinga. Berada di generasi yang sama dengan Final Fantasy, Dragon Quest, Tales dan Persona, ia sudah menjadi salah satu Cult Classic di genre RPG. Meskipun secara jumlah, Star Ocean tidak sebanyak teman-temannya, namun satu hal yang pasti, judul ini mampu bertahan hingga terus eksis di kancah industri video game.
Kami masih ingat betapa terpesonanya kami saat memainkan seri Till The End of Time dan The Last Hope saat masa-masa remaja dahulu. Begitu pula dengan versi remastered dari seri First Departure dan Second Evolution yang begitu hebatnya mengguncang handheld PSP lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Sayangnya, nama baik Star Ocean yang telah mereka bangun, justru harus hancur seketika saat seri kelimanya Integrity and Faithlessness gagal total di pasaran.
Dengan kondisi finansial tri-Ace yang sedang kacau balau, kami sempat berpikir bahwa Square Enix akan mematikan serial Star Ocean karena penjualan seri kelimanya yang tak sesuai harapan. Ternyata, perkiraan kami salah. Lewat program State of Play milik PlayStation yang ditayangkan pada bulan Oktober 2021, seri keenam Star Ocean pun resmi mengemuka. Dengan mengusung subjudul “The Divine Force” dan masih dikembangkan oleh developer aslinya tri-Ace, Square Enix siap mengembalikan nama baik Star Ocean yang sempat ternoda di masa lalu.
Apakah kekuatan Ilahi dari Star Ocean: The Divine Force mampu menyelamatkan tri-Ace dari keterpurukan?
Simak ulasan lengkapnya berikut ini!
Story
Star Ocean: The Divine Force mengambil latar waktu di tahun SD 583 yang berada di antara Anamnesis dan Till the End of Time. Di tahun tersebut, terdapat Federasi Pangalactic, sebuah pasukan perdamaian di galaksi yang secara historis berdiri demi keadilan. Sayangnya, mereka berubah haluan karena diliputi kegelapan, hingga tak segan-segan menghancurkan planet yang bertentangan dengan keinginan mereka.
Raymond Lawrence, seorang kapten kapal dagang Ydas, meninggalkan planet non-federasi Verguld dalam misi transportasi biasa. Di tengah perjalanannya mengarungi lautan bintang, kapal Ydas diserang oleh kapal perang khusus bernama Astoria yang dikomandoi oleh Bennet Maudsley.
Ray dan para kru kapalnya terpaksa melarikan diri dari kapal Ydas menggunakan kapal darurat. Ray tiba di planet terpencil dan kuno bernama Aster IV. Terpisah dari kru-krunya, Ray pun bertemu dengan putri mahkota Kerajaan Aucerius, Laeticia yang didampingi oleh pelayan setianya, Albaird.
Bagaimana kelanjutan kisah Raymond dan Laeticia?
Temukan jawabannya dengan memainkan Star Ocean: The Divine Force!
Gameplay
Serupa dengan apa yang pernah diterapkan pada seri keduanya, SO6 juga menghadirkan dua karakter protagonis yang bisa Anda pilih sejak awal permainan. Karakter pertama adalah Raymond Lawrence, seorang pemuda dari planet non-federasi Verguld yang menjadi kapten kapal dagang Ydas di bawah perusahaan keluarganya, Lawrence Logistics. Karakter kedua adalah Laeticia Aucerius, seorang putri Kerajaan Aucerius yang mendominasi wilayah planet terbelakang.
Raymond dan Laeticia akan sering berpisah selama petualangan, akan tetapi sebenarnya kedua karakter ini berbagi garis cerita utama yang kurang lebih sama. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah sudut pandang ceritanya saja. Raymond lebih kental dengan unsur sci-fi, sementara Laeticia lebih dominan menyajikan unsur fantasi. Terlepas dari siapapun karakter yang Anda pilih di awal, keduanya tetap bisa Anda mainkan dalam tim.
Berikut kami bahas aspek gameplay selengkapnya:
Exploration
Game ini masih menggunakan formula yang serupa dengan pendahulunya, di mana karakter tim Anda akan menjelajahi berbagai planet dengan peradaban yang berbeda-beda, mulai dari yang kuno hingga yang futuristik. Ukuran dunia yang ditawarkan oleh SO6 memang terasa masif sehingga jika dijelajahi dengan berjalan kaki, tentu akan memakan waktu tempuh yang sangat panjang. Game ini memang punya fitur Fast Travel untuk berpindah tempat secara instan, namun fitur ini baru akan terbuka setelah Anda mencapai desa Delryk.
Untungnya, game ini memperkenalkan sebuah robot drone bernama D.U.M.A., yang akan menunjang eksplorasi Anda ke depannya. Atas kehadirannya, menjelajahi dunia game ini terasa jauh lebih efektif dan efisien. Untuk menggunakannya, Anda hanya perlu menahan tombol R1, kemudian bidikan akan muncul untuk menentukan arah tujuan karakter Anda. Setelah itu, karakter Anda akan melesat seperti terbang untuk mencapai titik tujuan dengan cepat. Meskipun sesi terbang menggunakan D.U.M.A. ini tidak sebebas karakter Dragon Ball, namun setidaknya ia dapat menambah ruang eksplorasi Anda secara vertikal.
Battle
Seperti game JRPG modern pada umumnya, pertemuan dengan musuh dalam game ini terjadi secara real-time saat Anda melakukan eksplorasi. Tidak ada transisi ke field lain, karena semua musuh yang Anda temui bisa langsung Anda lawan di area yang bersangkutan. Sistem D.U.M.A. yang Anda miliki tidak hanya berguna dalam eksplorasi, namun juga dalam pertarungan. Jika melihat musuh di layar, Anda bisa langsung menerjang mereka untuk memberikan kejutan.
Tidak seperti seri kelima yang membawa semua karakter tim dalam pertarungan, game ini kembali menggunakan komposisi SO4, di mana Anda hanya dapat membawa empat karakter sekaligus dari seluruh karakter party yang ada. Anda juga bisa bertukar peran di antara keempat karakter ini secara real-time selama pertarungan berlangsung.
Sistem pertarungan game ini masih berorientasi pada aksi cepat nan heboh. Perubahan terbesar dalam sistem pertarungannya adalah dibuangnya parameter MP tradisional dan menggantinya dengan parameter baru, yaitu Action Point (AP). Dalam game ini, setiap karakter punya rangkaian kombo dinamis yang bisa Anda atur dalam tiga tombol serang, yaitu kotak, segitiga dan lingkaran.
Setiap serangan kombo akan mengonsumsi sejumlah AP, yang mana jika habis, Anda harus menunggu beberapa saat terlebih dahulu sebelum ia terisi kembali. Jumlah AP ini sendiri terbilang dinamis. Default-nya, ia hanya berjumlah lima bar saja, namun ia bisa bertambah atau berkurang, sesuai situasi dan kondisi pertarungan. Jadi, Anda tidak bisa menyerang terus menerus secara membabibuta karena tetap ada elemen strategi yang harus Anda perhatikan agar tidak terkena serangan balik.
Saat berjalannya pertarungan, ada satu fitur bernama Stop Mode, di mana saat Anda mengaktifkannya, layar permainan akan membeku dan diam untuk memberi waktu bagi Anda dalam menentukan strategi, target maupun instruksi kepada rekan.
Sayangnya, meskipun Anda sudah merasa hebat dan menguasai pertarungannya, tetap saja ada kendala utama yang tidak terhindarkan AI rekan tim Anda bisa dibilang tidak bisa diandalkan, terutama Nina sebagai penyembuh. Padahal, seharusnya karakter healer bisa menyelamatkan nyawa rekan-rekan timnya dalam pertempuran, namun jika ia saja tidak cekatan dalam menyembuhkan, tentu saja skill Anda jadi tidak berarti bukan?
Presentation
Visual
Star Ocean selalu punya ilustrasi karakter yang sangat menarik dari sisi desain. Namun anehnya, tri-Ace selalu gagal merepresentasikan ilustrasi tersebut dalam model karakter tiga dimensi yang sekali lagi terlihat seperti boneka manekin tanpa jiwa. Hal ini sudah berlangsung sejak peralihan dari era 2D ke 3D sejak seri ketiganya. Kami merasa tri-Ace tidak pernah berbenah diri dalam aspek ini.
Satu hal yang agak kurang kami sukai adalah desain karakter Raymond sama sekali tidak inspiratif sebagai seorang protagonis utama. Ia lebih terlihat seperti karakter urakan dengan model rambut yang tak pernah disisir. Untungnya, ada Elena yang masih bisa menyelamatkan wajah game ini dengan tampilannya yang waifuable, sehingga membuat kami bisa bertahan lebih lama.
Sebagai penikmat layar besar dengan jarak pandang cukup jauh, kami mengalami banyak kendala visual saat memainkan game ini. Salah satu kendala terbesar yang kami hadapi adalah ukuran font subtitle yang sangat kecil untuk sebuah game yang menampilkan banyak teks untuk menyampaikan cerita, informasi maupun tutorial. Jika ia datang dari developer barat, mungkin kami bisa memaklumi karena biasanya mereka membuat ukuran font subtitle sekecil mungkin untuk membuat pengalaman lebih imersif.
Namun sepertinya kali ini kami tidak bisa memaafkan tri-Ace yang mana mereka merupakan developer asal Jepang yang sudah berdiri sejak tahun 1995. Sepengalaman kami, biasanya developer Jepang memperbesar ukuran teks hingga terkesan lebay. Lebih buruknya lagi, tri-Ace tidak menyediakan opsi untuk memperbesar ukuran font sehingga memaksa kami harus berkali-kali maju ke depan layar TV untuk membaca teks yang merupakan informasi penting dalam menunjang permainan.
Audio
Terlepas dari presentasi visualnya yang tampil mengecewakan, untungnya masih ada aspek audio yang bisa menghibur telinga Anda. Musik-musik dalam game ini terasa padupadan dengan area-area yang Anda jelajahi. Hal ini tentu saja tak lepas dari tangan dingin sang komponis Motoi Sakuraba yang masih setia mengaransemen lagu-lagu di game ini. Pun demikian halnya dengan akting sulih suara para karakternya yang terdengar solid, baik dalam Bahasa Inggris maupun Jepang.
Value
Cerita Star Ocean: The Divine Force memang tidak terasa istimewa dibanding dengan para rivalnya. Kendati demikian, jajaran karakternya lah yang menyelamatkan plot ceritanya karena berkat mereka lah, penyajian cerita yang tergolong standar ini menjadi menarik.
Star Ocean memang bukan judul JRPG unggulan dari Square Enix, sehingga kami memahami jika biaya pengembangan jauh di bawah Final Fantasy dan Dragon Quest. Akan tetapi, hal itu bukan alasan bagi tri-Ace untuk bekerja setengah hati karena dengan perjalanan mereka yang sudah cukup panjang di industri video game, seharusnya Star Ocean bisa diperlakukan lebih baik dari ini.
Menurut kami, tri-Ace yang sekarang seperti kehilangan arah untuk membawa game ini naik level. Seperti yang kita ketahui bersama, game-game seangkatan Star Ocean seperti Final Fantasy, Dragon Quest, Tales dan Persona sudah melangkah jauh ke depan. Bahkan, game Atelier yang dahulu punya pasar niche, kini sudah mendapatkan perhatian gamer mainstream sejak seri Ryza. Namun, Star Ocean seakan stagnan dan tidak mengalami kemajuan berarti sejak seri keempatnya, The Last Hope. Jika bukan karena Elena, mungkin kami sudah meninggalkan game ini sejak sesi tutorial.
Conclusions
Star Ocean: The Divine Force memang tampil lebih baik dari pendahulunya, Integrity and Faithlessness. Namun, rasanya ia masih belum mampu melampaui kesuksesan seri ketiganya, Till the End of Time, yang menurut kami masih menjadi seri terbaik hingga saat ini.
Menurut kami, rasanya seri Star Ocean perlu hibernasi panjang sebelum bangkit kembali di masa depan dalam bentuk yang lebih baik. Jika tri-Ace sudah tidak sanggup melanjutkannya, sebaiknya Square Enix menyerahkan seri selanjutnya kepada developer lain dengan ide-ide yang lebih segar demi kebaikan franchise ini.
+ Elena adalah alasan untuk bertahan
+ Dua protagonis utama
+ Kebebasan mengatur kombo
+ Mekanik eksplorasi yang menyenangkan
+ Musik dari Motoi Sakuraba
+ Sulih suara yang solid
- Presentasi visual tertinggal satu generasi
- Ukuran teks yang sangat kecil
- Terlalu banyak tutorial
- Desain Raymond tidak inspiratif sebagai tokoh utama
- Tidak ada New Game+
- Tidak bisa mengatur perilaku AI
- Nina kurang sigap sebagai healer