The Dark Pictures Anthology: House of Ashes
Supermassive Games
Bandai Namco
22 Oktober 2021
PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series, PC
Horror, Adventure
Dewasa
Blu-ray, Digital
30 GB
Rp 379.000
Setelah Man of Medan dan Little Hope yang telah dirilis dalam dua tahun terakhir, kini proyek kolaborasi The Dark Pictures Anthology dari Supermassive Games dan Bandai Namco memasuki seri ketiganya, House of Ashes. Game bergenre drama interaktif ini selalu dibumbui elemen horor di dalamnya. Maka tak heran jika setiap tahunnya, ia selalu dirilis mendekati bulan Oktober agar bisa bertepatan dengan perayaan hari Halloween.
Sejak merilis Until Dawn enam tahun silam, Supermassive Games masih tetap menjaga tradisinya menghadirkan aktor/aktris terkenal untuk mengisi peran utama dari game mereka. Setelah Hayden Panettiere, Shawn Ashmore, Will Pouter, kini giliran Ashley Tisdale yang akan memerankan tokoh utama dalam game ini. Apakah kiprah Tisdale bisa lebih baik dari para pendahulunya?
Simak ulasan lengkapnya berikut ini!
Story
Kembali mengangkat kisah dari dunia nyata, House of Ashes mengambil latar waktu tahun 2003 saat terjadi Perang Irak yang melibatkan tentara Amerika Serikat dan pasukan Irak yang saat itu dipimpin oleh Saddam Hussein. Tentara Amerika yang dipimpin oleh sepasang suami-istri, Eric King dan Rachel King, bersama dua marinir Nick Kay dan Jason Kolchcek mendapatkan tugas untuk menyelidiki sebuah desa di pedalaman Irak karena disinyalir di sana lah tempat penyimpanan senjata pemusnah massal milik Saddam Hussein.
Namun, ketika sampai di tujuan, terjadilah gempa yang membuat mereka terperosok dan terjebak di reruntuhan kuil Sumeria. Tidak hanya mereka berempat, kejadian naas ini juga melibatkan salah satu prajurit Irak bernama Letnan Salim Othman. Usut punya usut, reruntuhan tersebut ternyata adalah sisa-sisa peradaban kerajaan Mesopotamia yang dahulu dipimpin oleh Raja Naram-Sin. Sayangnya, bukan harta karun yang mereka temukan, melainkan monster-monster mengerikan yang siap menerkam siapapun.
Apakah kelima orang tersebut mampu keluar hidup-hidup dari bawah tanah?
Temukan jawabannya dengan memainkan The Dark Pictures Anthology: House of Ashes!
Gameplay
Meskipun masih berada di bawah payung The Dark Pictures Anthology seperti dua game sebelumnya, House of Ashes punya dunia, kisah, latar dan karakter yang berbeda. Masih menerapkan mekanisme gameplay yang serupa dengan pendahulunya, dalam game ini, Anda akan memainkan lima karakter berbeda secara bergantian, baik secara single-player maupun multiplayer.
Sebelum masuk ke cerita utamanya, Anda akan dibawa menuju sesi prolog yang berlatarkan tahun 2231 sebelum Masehi. Kami tidak bisa menceritakan terlalu detail soal plot-nya karena hal tersebut berpotensi menimbulkan spoiler. Setelah sesi prolog ini selesai, Anda baru dibawa ke panggung utamanya yang berlangsung sekitar tahun 2003, saat terjadinya perang antara Amerika Serikat dan Irak.
Berikut kami bahas aspek gameplay selengkapnya:
House of Ashes kembali menghadirkan lima karakter yang bisa Anda mainkan secara bergantian sesuai alur cerita. Empat orang tentara berasal dari Amerika Serikat, yaitu Rachel, Eric, Nick dan Jason, sementara satu lainnya merupakan tentara Irak yang bernama Salim. Meskipun berada dari pihak yang berbeda, namun Salim punya tujuan yang sama dengan empat karakter lainnya, yaitu keluar dari kuil bawah tanah itu dalam keadaan hidup.
Bagi Anda yang memang awam dengan genre ini, tidak perlu khawatir karena developer telah menyediakan tingkatan kesulitan dari yang paling mudah hingga yang paling susah. Tentu saja, pilihan tingkat kesulitan ini sama sekali tidak mempengaruhi alur cerita, jadi Anda bisa bernafas lega.
Sudah menjadi ciri khas game garapan Supermassive Games, di mana ia selalu memiliki banyak ending yang berbeda-beda. Di banyak kesempatan, Anda akan diminta untuk memutuskan sesuatu, baik itu jawaban atau tindakan yang nantinya dapat mempengaruhi alur cerita serta nasib para karakter itu sendiri. Hidup dan matinya karakter selama cerita berlangsung, sangat tergantung dari opsi atau tindakan yang Anda pilih.
Untuk bagian aksi, biasanya Anda akan menekan tombol yang muncul di layar dalam sesi QTE (Quick Time Event). Untungnya, sejak Little Hope tahun lalu, sesi QTE ini telah banyak mengalami perbaikan, sehingga saat sesi ini siap muncul, Anda akan mendapatkan peringatan terlebih dahulu agar bisa mengambil ancang-ancang sebelum bertindak.
Secara keseluruhan, elemen horor dalam game ini kurang begitu terasa karena bagian aksinya lebih mendominasi. Meskipun masih ada beberapa adegan yang memunculkan Jumpscare yang jumlahnya sendiri tidak sebanyak pendahulunya, namun formula tersebut sudah cukup kadaluarsa karena sudah berulangkali dipakai di game-game sebelumnya.
Presentation
Visual
Bicara soal presentasi visual, House of Ashes punya nilai plus karena game ini tampak mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari Little Hope. Penataan cahayanya terasa tepat menggambarkan suasana yang mencekam di sepanjang permainan. Satu aspek yang mengalami perbaikan dari seri sebelumnya adalah pengaturan kamera, di mana kini Anda diberi kebebasan untuk mengaturnya sesuai sudut yang diinginkan. Sayangnya, masih ada bagian-bagian yang mencederai kesempurnaan visualnya seperti ekspresi wajah karakter yang kerap kali tidak sesuai dengan keadaan cerita sehingga emosi yang disampaikan terasa tidak sampai kepada pemain.
Audio
Audio menjadi aspek yang cukup menentukan tingkat ketakutan pemain pada setiap game horor. Meskipun secara keseluruhan House of Ashes tidak terlalu menakutkan, akan tetapi tata suara dalam game ini patut diacungi jempol berkat musik dan efek suara yang mengiringi jalannya permainan. Begitu pula dengan para aktornya yang memerankan karakternya dengan sangat baik. Meskipun ekspresi wajahnya kadang tak menentu, tetapi kualitas suara mereka benar-benar menjiwai perannya.
Value
Bagi Anda yang belum tahu, Bandai Namco dan Supermassive Games rencananya akan merilis delapan game terpisah secara bertahap yang tergabung dalam The Dark Pictures Anthology. Kemungkinan besar, kedelapan game ini akan dibagi atas dua Season berbeda, di mana beberapa waktu lalu, mereka juga sudah mengumumkan game keempatnya untuk tahun depan berjudul The Devil in Me yang menjadi penutup musim pertamanya.
Conclusions
Secara kualitas, House of Ashes mengalami peningkatan dari dua seri sebelumnya berkat beberapa perbaikan dari sisi cerita, visual dan teknis. Akan tetapi, dibanding kedua pendahulunya, tingkat keseramannya sendiri terasa jauh berkurang karena game ini lebih menonjolkan sisi aksi dan misterinya. Semoga saja, Supermassive Games bisa memperbaiki kekurangan dalam House of Ashes dalam The Devil in Me tahun depan.
The Dark Pictures Anthology: The Devil in Me
+ Peningkatan kualitas visual
+ Kebebasan pengaturan kamera
+ Konflik antar karakter yang menarik
+ Desain suara yang mendukung suasana
+ Adanya Indikator QTE
+ Salim Othman
- Ekspresi wajah terkadang tidak sesuai momen
- Transisi antar karakter sering tiba-tiba
- Formula Jumpscare yang sudah kadaluarsa
- Elemen horor kurang terasa